Translate
Home »
»
Written By Unknown on Sabtu, 15 Desember 2012 | 04.44
Madihin
Dari
Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Madihin (berasal dari kata
madah
dalam bahasa Arab yang berarti "nasihat",
tapi bisa juga berarti "pujian") adalah sebuah genre puisi dari suku Banjar. Puisi
rakyat anonim bergenre Madihin ini cuma ada di kalangan etnis Banjar di Kalsel saja. Sehubungan dengan itu, definisi
Madihin dengan sendirinya tidak dapat dirumuskan dengan cara mengadopsinya dari
khasanah di luar folklor Banjar.
Tajuddin Noor Ganie
(2006) mendefinisikan Madihin dengan rumusan sebagai berikut : puisi
rakyat anonim bertipe hiburan yang dilisankan atau dituliskan dalam bahasa
Banjar dengan bentuk fisik dan bentuk mental tertentu sesuai dengan konvensi
yang berlaku secara khusus dalam khasanah folklor
Banjar di Kalsel.
Bentuk fisik
Masih menurut Ganie
(2006), Madihin merupakan pengembangan lebih lanjut dari pantun berkait. Setiap
barisnya dibentuk dengan jumlah kata minimal 4 buah. Jumlah baris dalam satu
baitnya minimal 4 baris. Pola formulaik persajakannya merujuk kepada pola sajak
akhir vertikal a/a/a/a, a/a/b/b atau a/b/a/b. Semua baris dalam setiap baitnya
berstatus isi (tidak ada yang berstatus sampiran sebagaimana halnya dalam
pantun Banjar) dan semua baitnya saling berkaitan secara tematis.
Madihin merupakan genre/jenis puisi rakyat anonim
berbahasa Banjar yang bertipe hiburan. Madihin dituturkan di depan publik
dengan cara dihapalkan (tidak boleh membaca teks) oleh 1 orang, 2 orang, atau 4
orang seniman Madihin (bahasa Banjar Pamadihinan). Anggraini
Antemas (dalam Majalah Warnasari
Jakarta, 1981) memperkirakan tradisi penuturan Madihin (bahasa Banjar : Bamadihinan)
sudah ada sejak masuknya agama Islam ke wilayah Kerajaan Banjar pada tahun 1526.
Biasanya, kesenian madihin dimainkan pada malam hari,
namun di masa sekarang juga dapat lakukan di siang hari sesuai permintaan.
Madihin biasanya dimainkan selama 1 sampai 2 jam. Jika dahulu madihin biasa
dilakukan di tempat terbuka, seperti halaman atau lapangan yang luas, dengan
panggung ukuran 4x3 meter, sekarang madihin sering dipertunjukkan di dalam
gedung pertunjukan.
Struktur Madihin
Dalam pertunjukannya, madihin mempunyai struktur baku
bagi semua pemadihin, yaitu:
1. Pembukaan, dengan menyanyikan sampiran sebuah pantun
yang diawali dengan pukulan tarbang yang disebut pukulan membuka. Pada sampiran
ini biasanya menyangkut tema yang akan dibawakan pemadihin.
2. Memasang tabi, yakni membawakan syair-syair atau
pantun yang isinya menghormati penonton, memberikan pengantar, terima kasih
atau permohonan maaf jika nanti ada salah kata dalam membawakan madihin.
3. Menyampaikan isi (manguran), yaitu menyampaikan syair
atau pantun yang isinya sesuai dengan tema acara atau permintaan panitia.
Sebelum isi dari tema madihin dikupas oleh pamadihinan, sampiran pantun di awal
harus disampaikan isinya terlebih dahulu (mamacah bunga).
4. Penutup, yakni menyampaikan kesimpulan, sambil
menghormati penonton, mohon pamit, dan ditutup dengan pantun penutup.
Status Sosial dan
Sistem Mata Pencaharian Pamadihinan
Madihin dituturkan sebagai hiburan rakyat untuk
memeriahkan malam hiburan rakyat (bahasa Banjar Bakarasmin)
yang digelar dalam rangka memperintai hari-hari besar kenegaraan, kedaerahan,
keagamaan, kampanye partai politik, khitanan, menghibur tamu agung, menyambut
kelahiran anak, pasar malam, penyuluhan, perkawinan, pesta adat, pesta panen,
saprah amal, upacara tolak bala, dan upacara adat membayar hajat (kaul, atau
nazar).
Orang yang menekuni profesi sebagai seniman penutur
Madihin disebut Pamadihinan.
Pamadihinan merupakan seniman penghibur rakyat yang bekerja mencari nafkah
secara mandiri, baik secara perorangan maupun secara berkelompok.
Setidak-tidaknya ada 6 kriteria profesional yang harus
dipenuhi oleh seorang Pamadihinan, yakni : (1) terampil dalam hal mengolah
kata sesuai dengan tuntutan struktur bentuk fisik Madihin yang sudah dibakukan
secara sterotipe, (2) terampil dalam hal mengolah tema dan amanat (bentuk
mental) Madihin yang dituturkannya, (3) terampil dalam hal olah vokal ketika
menuturkan Madihin secara hapalan (tanpa teks) di depan publik, (4) terampil
dalam hal mengolah lagu ketika menuturkan Madihin, (5) terampil dalam hal
mengolah musik penggiring penuturan Madihin (menabuh gendang
Madihin), dan (6) terampil dalam hal mengatur keserasian penampilan
ketika menuturkan Madihin di depan publik.
Tradisi Bamadihinan
masih tetap lestari hingga sekarang ini. Selain dipertunjukkan secara langsung
di hadapan publik, Madihin juga disiarkan melalui stasiun radio swasta yang ada
di berbagai kota besar di Kalsel. Hampir semua stasiun radio swasta menyiarkan
Madihin satu kali dalam seminggu, bahkan ada yang setiap hari. Situasinya
menjadi semakin bertambah semarak saja karena dalam satu tahun diselenggarakan
beberapa kali lomba Madihin di tingkat kota, kabupaten, dan provinsi dengan
hadiah uang bernilai jutaan rupiah.
Tidak hanya di Kalsel, Madihin juga menjadi sarana
hiburan alternatif yang banyak diminati orang, terutama sekali di pusat-pusat
pemukiman etnis Banjar di luar daerah atau bahkan di luar negeri. Namanya juga
tetap Madihin. Rupa-rupanya, orang Banjar yang pergi merantau ke luar daerah
atau ke luar negeri tidak hanya membawa serta keterampilannya dalam bercocok
tanam, bertukang, berniaga, berdakwah, bersilat lidah (berdiplomasi), berkuntaw
(seni bela diri), bergulat, berloncat indah, berenang, main catur, dan
bernegoisasi (menjadi calo atau makelar), tetapi juga membawa serta
keterampilannya bamadihinan (baca berkesenian).
Para Pamadihinan
yang menekuni pekerjaan ini secara profesional dapat hidup mapan. Permintaan
untuk tampil di depan publik relatif tinggi frekwensinya dan honor yang mereka
terima dari para penanggap cukup besar, yakni antara 500 ribu sampai 1 juta
rupiah. Beberapa orang di antaranya bahkan mendapat rezeki nomplok yang cukup
besar karena ada sejumlah perusahaan kaset, VCD, dan DVD di kota Banjarmasin
yang tertarik untuk menerbitkan rekaman Madihin mereka. Hasil penjualan kaset,
VCD, dan DVD tersebut ternyata sangatlah besar.
Pada zaman dahulu kala, ketika etnis Banjar di Kalsel
masih belum begitu akrab dengan sistem ekonomi uang, imbalan jasa bagi seorang
Pamadihinan diberikan dalam bentuk natura (bahasa Banjar : Pinduduk).
Pinduduk terdiri dari sebilah jarum dan segumpal benang, selain itu juga berupa
barang-barang hasil pertanian, perkebunan, perikanan, dan peternakan.
Keberadaan Madihin
di Luar Daerah Kalsel
Madihin tidak hanya disukai oleh para peminat domestik di
daerah Kalsel saja, tetapi juga oleh para peminat yang tinggal di berbagai kota
besar di tanah air kita. Salah seorang di antaranya adalah Pak Harto, Presiden
RI di era Orde Baru ini pernah begitu terkesan dengan pertunjukan Madihin humor
yang dituturkan oleh pasangan Pamadihinan dari kota Banjarmasin Jon Tralala dan
Hendra. Saking terkesannya, beliau ketika itu berkenan memberikan hadiah berupa
ongkos naik haji plus (ONH Plus) kepada Jon Tralala. Selain Jhon
Tralala dan Hendra, di daerah Kalsel banyak sekali bermukim
Pamadihinan terkenal, antara lain : Mat
Nyarang dan Masnah pasangan
Pamadihinan yang paling senior di kota Martapura), Rasyidi
dan Rohana(Tanjung),
Imberan
dan Timah (Amuntai), Nafiah
dan Mastura
Kandangan), Khair
dan Nurmah
(Kandangan), Utuh
Syahiban Banjarmasin), Syahrani
(Banjarmasin), dan Sudirman(Banjarbaru).
Madihin mewakili Kalimantan Timur
pada Festival Budaya Melayu.
Pada zaman dahulu kala, Pamadihinan termasuk profesi yang
lekat dengan dunia mistik, karena para pengemban profesinya harus melengkapi
dirinya dengan tunjangan kekuatan supranatural yang disebut Pulung.
Pulung ini konon diberikan oleh seorang tokoh gaib yang tidak kasat mata yang
mereka sapa dengan sebutan hormat Datu
Madihin.
Pulung difungsikan sebagai kekuatan supranatural yang
dapat memperkuat atau mempertajam kemampuan kreatif seorang Pamadihinan. Berkat
tunjangan Pulung inilah seorang Pamadihinan akan dapat mengembangkan bakat alam
dan kemampuan intelektualitas kesenimanannya hingga ke tingkat yang paling
kreatif (mumpuni). Faktor Pulung inilah yang membuat tidak semua orang Banjar
di Kalsel dapat menekuni profesi sebagai Pamadihinan, karena Pulung hanya diberikan
oleh Datu Madihin kepada para Pamadihinan yang secara genetika masih mempunyai
hubungan darah dengannya (hubungan nepotisme).
Datu Madihin yang menjadi sumber asal-usul Pulung
diyakini sebagai seorang tokoh mistis yang bersemayam di Alam Banjuran Purwa Sari, alam pantheon
yang tidak kasat mata, tempat tinggal para dewa kesenian rakyat dalam konsep
kosmologi tradisonal etnis Banjar di Kalsel. Datu Madihin diyakini sebagai
orang pertama yang secara geneologis menjadi cikal bakal keberadaan Madihin di
kalangan etnis Banjar di Kalsel.
Konon, Pulung harus diperbarui setiap tahun sekali, jika
tidak, tuah magisnya akan hilang tak berbekas. Proses pembaruan Pulung
dilakukan dalam sebuah ritus
adat yang disebut Aruh Madihin.
Aruh Madihin dilakukan pada setiap bulan Rabiul Awal atau Zulhijah. Menurut
Saleh dkk (1978:131), Datu Madihin diundang dengan cara membakar dupa dan
memberinya sajen
berupa nasi ketan, gula kelapa, 3 biji telur ayam kampung, dan minyak
likat baboreh. Jika Datu Madihin berkenan memenuhi undangan, maka
Pamadihinan yang mengundangnya akan kesurupan selama beberapa saat. Pada saat
kesurupan, Pamadihinan yang bersangkutan akan menuturkan syair-syair Madihin
yang diajarkan secara gaib oleh Datu Madihin yang menyurupinya ketika itu.
Sebaliknya, jika Pamadihinan yang bersangkutan tidak kunjung kesurupan sampai
dupa yang dibakarnya habis semua, maka hal itu merupakan pertanda mandatnya
sebagai Pamadihinan telah dicabut oleh Datu Madihin. Tidak ada pilihan bagi
Pamadihinan yang bersangkutan, kecuali mundur teratur secara sukarela dari
panggung pertunjukan Madihin
0 komentar:
Speak up your mind
Tell us what you're thinking... !